Kearifan Lokal Becak Tuban
Karakteristik Kota Wali sangat khas. Setidaknya kesan itu yang saya tangkap dari pengalaman mengunjungi tiga kota Wali. Kudus, Demak, dan Tuban. Geliat aktivitas keagamaan sangat lekat mewarnai kota. Kaum pria berlalu lalang mengenakan sarung dan peci khas santri, serta hilir mudiknya para perempuan berjilbab adalah pemandangan jamak. Mereka menyatu dengan detak kehidupan kota. Sedangkan makam wali atau sunan adalah jantungnya.
Menyebut makam sunan sebagai jantung atau pusat kehidupan kota wali bukan ungkapan hiberbola. Tempat tersebut nyatanya tak hanya menjadi pusat kegiatan keagamanan, tapi juga menjelma sebagai jantung kehidupan sosial dan penggerak ekonomi masyarakat. Banyak orang menggantungkan isi periuk nasinya dari kedatangan gelombang peziarah yang nyaris tak pernah berhenti. Begitulah nikmatnya jadi orang baik, meski sudah lama meninggal, selalu ada yang datang menengok untuk mendoakan. Hebatnya lagi, saat sudah meninggal pun, orang-orang hebat tersebut secara tidak langsung ikut membantu mendatangkan rezeki bagi orang lain, seperti para pedagang souvenir, pedagang makanan hingga tukang becak.
Jika anak kembar pun punya sifat berbeda, begitu pula karakteristik tiap kota wali. Tak ada yang sama. Pasti punya keunikan masing-masing, tak terkecuali Tuban.
Saya bersyukur bisa menjelajahi Tuban bersama tuan rumah yang sangat baik dan istimewa, Mbak Dian dan Endah. Belum lagi ditambah dua sahabat yang asyik, Azizah dan Halim. Perjalanan di bawah terik sinar matahari yang menyengat, kadang diselingi siraman hujan deras pun terasa menyenangkan. Dan Tuban memang memikat. Kota di pantura ini memang tidak punya pantai berpasir putih dan selembut bedak bayi atau deretan pegunungan yang lihai memanjakan mata. Yang ada malah udara panas menyengat khas wilayah pantai utara. Tapi percayalah, tiap tempat menyimpan pesona. Dan menurut saya, pesona Tuban terletak pada becaknya. Becak? Begitulah.
Tahu rasanya jika seorang anak kecil diberi gulali yang manis dan menarik? Pasti girang. Begitulah yang saya rasakan ketika sepeda motor yang dikemudikan Mbak Dian lewat di depan Museum Kambang Putih. Museum ini terletak di jantung kota Tuban, tepatnya di dekat alun-alun, Masjid Agung, dan makam Sunan Bonang. Saya yang membonceng girang bukan kepalang menyaksikan pemandangan unik di depan museum itu. Takjub tepatnya. Puluhan atau mungkin seratusan becak berjajar rapi dua-dua hingga mengular puluhan atau mungkin lebih dari 100 meter. Kami pun langsung excited pingin mengambil foto. Tapi akhirnya kami sepakat akan hunting foto becak setelah masuk ke Museum Kambang Putih.
Cerita selanjutnya bisa ditebak. Setelah mengeksplor museum yang sederhana tapi kaya cerita, kami langsung berburu foto-foto becak. Kami mencoba berbagai angle agar mendapatkan foto yang epik dan menggambarkan keramaian suasana di sana. Coba memotret dari samping, depan, tengah-tengah kerumuman becak, bahkan naik ke salah satu becak. Tak lupa foto narsis juga di berlatar belakang antrian becak itu. Bapak-bapak penarik becak hanya bisa tertawa melihat tingkah kami. Tapi kapan lagi coba dapat pemandangan keren seperti itu?
Becak Tuban bentuknya agak berbeda dibandingkan becak Solo atau Jogja. Ukurannya lebih kecil dan atap penutupnya tak sebesar becak Solo dan Jogja. Beberapa becak atapnya malah bercorak bunga-bunga. Ada juga yang bodi becaknya berhias warna-warna cerah yang eye catching.
Para tukang becak ini menjemput rezeki dari para peziarah di makam Sunan Bonang, yang berasal dari berbagai kota. Menurut cerita Mbak Dian, peziarah nyaris tak berhenti mengalir. Nyaris selama 24 jam! Puncak kedatangan peziarah biasanya menjelang Ramadan, sedangkan saat Bulan Puasa pengunjung bakal turun drastis. Mbak Dian bilang ada kepercayaan bahwa tak baik berziarah di Bulan Puasa. Saat-saat itu becak biasanya hanya melayani orang-orang Tuban sendiri. Sedangkan jelang Ramadan, kawasan alun-alun dan Museum Kambang Putih benar-benar dikuasai becak. Pengendara mobil atau sepeda motor pasti akan berpikir ulang jika ingin lewat sana.
Becak-becak yang mangkal di depan museum melayani rute dari tempat parkir kendaraan para peziarah menuju alun-alun. Kendaraan peziarah berupa bus-bus ukuran kecil atau besar biasanya diparkir di Lapangan Bonsari (dekat objek wisata Goa Akbar) atau di Pantai Boom. Jaraknya sekitar 3 km atau 3,5 km dari alun-alun. Untuk tarifnya, pengayuh becak menarik biaya sekitar Rp6.000-Rp7.500 sekali jalan.
”Sehari dapat berapa rupiah pak kalau narik becak gini,” tanya saya kepada salah satu penarik becak dengan bahasa Jawa. Jawaban yang saya dapat pendek-pendek tapi cukup memuaskan. ”Kalau ramai bisa dapat Rp150.000 sehari mbak, tapi kalau pas sepi kadang cuma dapat Rp50.000,” jawab bapak tukang becak itu.
Selain antrian yang mengular, ada yang istimewa dari becak di jantung kota Tuban itu. Becak-becak tersebut terhubung satu sama lain. Kaki-kaki pengayuh becak ditumpangkan ke bagian belakang becak di depannya. Alhasil, jika ingin bergerak maju, mereka hanya perlu memutar roda dan antrean pun bergerak. Tak perlu turun dari becak. Brilian kan.
Dengan aturan tak tertulis tersebut, antrean becak Tuban selalu rapi. Tak ada acara rebutan penumpang. Penumpang mau tidak mau harus memilih becak yang berada di antrean terdepan. Saya salut dengan kearifan lokal para pengayuh becak Tuban tersebut. Mungkin mereka meyakini rezeki tak perlu diperebutkan dengan membabi buta. Biarkan semua bersama-sama menikmati rezeki dengan gembira.
Sejak kapan tradisi becak Tuban itu ada, saya tak tahu pasti. ”Dulu kayaknya pernah rebutan penumpang juga mbak. Tapi sejak tahun berapa gitu becak-becaknya mulai tertib dan berlanjut sampai saat ini,” beber Mbak Dian. Siapa pun pelopor tradisi itu, saya angkat jempol. Semoga kearifan lokal becak Tuban tersebut terus terjaga, atau malah menular ke tempat-tempat lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar